Saturday, 31 December 2011

Why we need more Posyandu?[i] Mengapa kita perlu lebih banyak Posyandu?

Why we need more Posyandu?[i]
Mengapa kita perlu lebih banyak Posyandu?
By Yossi Crosita Octaria[ii] as quoted from Jakarta Post of 23 August 2011 and interpreted into Bahasa Indonesia by DA


Perhaps there is no better time to think about malnutrition in Indonesia other than the fasting month of Ramadhan.  Most of us are familiar with the subject as we are set for an empty stomach and full of empathy throughout the month.

Mungkin waktu yang paling tepat untuk memikirkan soal kekurangan gizi (malnutrisi) adalah ketika bulan puasa Ramadhan.  Topik itu menjadi sangat relevan karena pada saat yang sama kebanyakan dari kita merasakan lapar dan  memiliki empati penuh.
Of course there is a striking difference: while the hunger of problem for most Indonesians ends with the sound of adzan, those who suffer from malnutrition have to wait longer – sometimes even a lifetime. We have the opportunity to prevent this from happening and there are possible solutions to the issue.
Tentunya ada perbedaan yang sangat jelas: ketika masalah lapar bagi sebagian bangsa Indonesia dapat diselesaikan dengan bunyi adzan, mereka yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) harus menunggu lebih lama lagi, bahkan mungkin seumur hidupnya.  Kita mempunyai kesempatan untuk ikut menanggulangi masalah kekurangan gizi dan ternyata ada beberapa solusi untuk masalah ini.

Let’s start with the numbers.  A 2010 report by United Nations Children’s Fund found that a least 7.6 million Indonesian children aged below 5 years old – or one in five toddlers- suffer from stunted growth, a primary manifestation of malnutrition in early childhood.  Moreover, around 1.4 million children under five in Indonesia still do not have enough to eat.
Mari kita mulai dengan angka statistik.  Laporan oleh United Nations Children’s Fund di tahun 2010 menunjukan bahwa setidaknya ada 7,6 juta anak Indonesia usia di bawah 5 tahun (balita)– atau 1 dari 5 balita mengalami hambatan pertumbuhan, yang merupakan wujud kekurangan gizi di usia dini.  Terlebih lagi, terdapat sekitar 1,4 juta balita di Indonesia yang tidak cukup makan.

To be fair, statistically speaking, the percentage of undernourished children in this country has steadily declined. Nevertheless, it is not a reason to be complacent. Every child deserves better living conditions that can ensure a brighter future for each of them.  A great deal research has shown that undernourished children often have to live in the grip of hunger for the rest of their lives.
Supaya adil, secara statistik, tingkat kekurangan gizi pada anak memang telah menurun secara bertahap. Bagaimanapun juga ini bukanlah alasan untuk berpuas diri.  Setiap anak mempunyai hak untuk hidup lebih sejahtera untuk menjamin masa depan yang lebih baik.  Sejumlah penelitian menunjukan bahwa anak yang kekurangan gizi bahkan harus hidup di dalam genggaman kelaparan selama sisa hidupnya.

[Picture]
Nutritional problems in Indonesia – among both adults and children – primary occur in certain dwellings and vulnerable rural areas.  It is also concentrated in certain groups of people, such as marginal farmers, urban poor groups, children, women and elderly.  This patter shows that the undernourishment problem follows discrimination and deprivation. Both are undeniably linked to poverty.
Masalah gizi di Indonesia baik untuk dewasa maupun anak umumnya terjadi pada di daerah pedesaan dan juga terkonsentrasi di masyarakat prasejahtera seperti petani gurem, kelompok masyarakat prasejahtera perkotaan, anak-anak, perempuan dan lanjut usia.  Pola ini menunjukan bahwa masalah kekurangan gizi biasanya diikuti dengan diskriminasi dan kekurangan.  Keduanya mempunyai tautan yang kuat pada Kemiskinan.

The vicious downward spiral of poverty and undernourishment goes more or less like this: poor women prone to undernourishment during pregnancy.  This leads to undernourishment of their unborn children.  Their condition in turn could cause illness as the children grow up.  The results of fetal undernourishment are amplified by undernourishment in young children.  It is a serious loss in itself.  In addition, recurrence of illness among children will increase families health service expenditures.
Lingkaran setan kemiskinan dan kekurangan gizi kurang lebih bekerja seperti ini: ibu hamil prasejahtera mengalami kekurangan gizi selama kehamilan.  Hal ini menyebabkan kekurangan gizi pada bayi yang dikandungnya.  Keadaan ini dapat mengakibatkan penyakit pada tumbuh kembang anak.  Kekurangan gizi pada janin diperbesar lagi dengan kekurangan gizi pada anak-anak.  Sesuatu yang benar-benar menyedihkan.  Ditambah lagi dengan timbulnya penyakit yang berulang pada anak mengakibatkan meningkatnya biaya layanan kesehatan pada keluarga.

Sadly, in many cases, this vicious circles will persist in the family for the at least two or three generations.  Poor families need tremendous efforts to shed these shackles.
Yang menyedihkan lagi, biasanya, lingkaran setan ini akan tetap berlangsung untuk setidaknya dua atau tiga generasi.  Keluarga prasejahtera memerlukan upaya luar biasa untuk memutus rantai kemiskinan.

As we see, poverty is a major cause of malnutrition.  Bear in mind, however, that tackling the undernourishment problem is much more complex issue then just increasing people’s incomes.  Providing adequate minimum nutrition for all household members year-round, for instance, is a good idea, but is it sustainable?
Kenyataannya, kemiskinan adalah penyebab utama dari malnutrisi. Untuk diingat bahwa mengatasi masalah kekurangan gizi lebih kompleks dari sekedar meningkatkan pendapatan masyarakat.  Menyediakan nutrisi minimum yang mencukupi untuk seluruh anggota keluarga selama setahun misalnya mungkin merupakan ide yang bagus, tetapi apakah hal ini dapat berkesinambungan?





[picture]

The real challenge is in people’s mindsets. For instance, according to a recent survey, the percentage of total income being spent on food in many poor household is sometimes lower than other competing needs such as education, fuel, or even worse, tobacco. So what we can do?
Tantangan sebenarnya adalah pada pola pikir masyarakat.  Sebagai contoh, berdasarkan survey baru-baru ini, jumlah pengeluaran rumah tangga yang dibelanjakan untuk makanan ternyata lebih rendah dari kebutuhan pesaingnya seperti pendidikan, bahan bakar minyak atau bahkan yang lebih buruk lagi seperti rokok.  Apa yang bisa kita lakukan?

I believe any solution to this issue needs to take into accounts the subject: Those who are hungry have play a central role in solving these problems.  That is why I think the best intervention in this problem must involve linking up the poor’s efforts and initiatives to better their own condition with help of the government and NGOs.
Saya percaya setiap solusi terhadap masalah ini perlu melibatkan subyeknya: Mereka yang kelaparan harus menjadi pemeran utama dalam mengatasi masalah.  Oleh karena itu saya pikir penyelesaian terbaik dari masalah ini adalah melibatkan upaya dan inisiatif masyarakat prasejahtera untuk memperbaiki kondisinya sendiri dengan bantuan dari pemerintah dan swadaya masyarakat.

In order to do that, we will require a combination of community and facility-based activities, with support from central organization, as well as centrally run programs in villages across Indonesia.  The good news is that we already have on running. It is the community healthcare post or Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Untuk mewujudkan hal di atas, kita memerlukan suatu kombinasi antara masyarakat dan kegiatan yang memfasilitasi dengan bantuan dari suatu organisasi pusat, dan suatu program yang dijalankan di setiap wilayah (desa, perkampungan) di Indonesia.   Kabar baiknya adalah kita sudah memiliki wadah tersebut yaitu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).

Posyandu is a community-based healthcare center where basic maternal and child health problems, including family planning, antenatal care, immunization, simple diarrhea  intervention and nutritional problems, are identified and tackled at the community unit level.  It is mainly supported by volunteers from the surrounding villages and supervised by a local doctor from the nearby community health center (Puskesmas)
Posyandu adalah layanan kesehatan masyarakat yang menampung dan mengatasi masalah kesehatan ibu dan anak yang amat diperlukan, -termasuk diantaranya pelayanan KB, pemeriksaan kehamilan, imunisasi, penyembuhan diare, dan masalah gizi lainnya- di level kelompok masyarakat itu sendiri (biasanya per RW atau Desa). Kegiatan ini umumnya dibantu oleh kader sukarela dari sekitar kampong dan diawasi oleh dokter setempat dari pusat layanan kesehatan masyarakat (Puskesmas) terdekat.
The Posyandu program, dating back to 1984, flourishing until the fall of the New Order in 1998. Since then support has been deteriorating and the program suffered a setback.  At the time, many experts praised Posyandu as one of the best practice of community based activities in the developing world.
Program Posyandu, di  sekitar tahun 1984, berkembang sampai jatuhnya Orde Baru in tahun 1998.  Sejak itu support terhadap Posyandu menurun dan program tersebut mengalami kemunduran.  Pada masa jayanya, banyak ahli mengagumi Posyandu sebagai salah satu praktik terbaik dari aktivitas berbasis masyarakat di Negara berkembang.
[picture]
WHO data shows that the number of children suffering from protein and energy deficiencies has gone down around 20 percent during the period of 1986-1995.  A more recent study shows that children who routinely visited Posyandu have better nutritional status compared to their counterparts in the same area (F. Anwar, 2010).  This confirms that not only Posyandu is effective, but it is also still relevant to the present time.
Data WHO menunjukan bahwa jumlah anak yang kekurangan protein dan enersi menurun hingga 20 persen selama kurun 1986-1995.  Studi terakhir menunjukkan bahwa anak yang secara rutin berkunjung ke Posyandu mempunyai status gizi yang lebih baik disbanding yang rekan-rekannya yang tidak rutin berkunjung.   Ini membuktikan bahwa Posyandu bukan hanya efektif tetapi juga tetap relevan hingga saat ini.

However, despite all of this, in many parts of the country, Posyandu is now lacking personnel, money and management to run optimally.  I witnessed first-hand how Posyandu in one district in Bogor, West Java, struggled to deliver services because financial constraints. This is regrettable.
Sayangnya, di berbagai wilayah, Posyandu saat ini kekurangan kader, uang dan sistem untuk menjalankannya secara optimal.  Saya menyaksikan sendiri bagaiamana sebuah Posyandu di Bogor, Jawa Barat, berusaha bertahan untuk memberikan layanan dikarenakan masalah keuangan.
Strong support and additional resources will strengthen the role of Posyandu in helping undernourished children escape the grip of hunger and survive the threat of poverty.  Posyandu is the perfect place where community participation and politics can meet in order to reserve the trend of undernourishment in Indonesia.
Dukungan penuh dan sumber daya tambahan akan memperkuat peran Posyandu dalam menolong anak-anak yang kekurangan gizi lepas dari genggaman kelaparan dan selamat dari ancaman kemisikinan. Posyandu adalah tempat yang paling tepat dimana masyarakat dapat berpartisipasi untuk menanggulangi masalah kekurangan gizi di Indonesia.


[i] Courtesy of the author and Jakarta Post
[ii] The writer is a health practitioner who graduated from Royal Tropical Institute, Amsterdam

No comments:

Post a Comment